Bismillahirrohmanirrohim

Bismillahirrohmanirrohim

Sabtu, 28 Februari 2015

LUPA KEPADA ALLAH, KEFASIKAN DAN KEMUNAFIKAN




     Pada suatu ketika seorang wanita datang kepada Hasan Bashri ra. dan berkata: "Sesungguhnya anak perempuanku yang masih muda belia telah mati, aku menginginkan untuk dapat melihatnya di dalam tidur.  Aku datang kepada Anda, agar kiranya Anda mengajarkan kepadaku sesuatu yang dapat aku jadikan perantara untuk dapat melihatnya." Maka Hasan Bashri mengajarkan sesuatu kepada wanita itu, sehingga ia benar-benar bermimpi melihat anak dalam keadaan terbelenggu.
     Wanita itu menjadi bersedih karenanya, lalu ia menceritakan kepada Hasan Bashri. Setelah beberapa waktu berlalu dari kejadian itu, Hasan Bashri bermimpi melihat anak perempuan wanita tersebut, berada di dalam surga dan di atas kepalanya terdapat mahkota. Putri itu berkata kepada Hasan Bashri: "Wahai Hasan, tidakkah Anda mengenal aku? Aku adalah putri dari wanita yang dahulu pernah datang kepada Anda dengan mengatakan begini dan begini kepada Anda." Lalu Hasan Bashri bertanya kepadanya: "Apa yang bisa membuat Anda seperti yang saya lihat ini?" Putri itu menjawab: "Ada seorang laki-laki melewati kuburan kami, dia membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw. sekali. Sementara di dalam kubur itu terdapat lima ratus lima puluh orang dalam keadaan tersiksa. Kemudian terdengar suara seruan: "Bebaskan mereka dari siksaan, berkat bacaan shalawat orang laki-laki itu."
     FAEDAH: Dengan sebab bacaan shalawat seorang laki-laki tersebut, orang-orang yang tersiksa dalam alam kubur itu mendapatkan ampunan. Lalu bagaimana seandainya ada orang yang membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw. Selama lima puluh tahun, apakah dia tidak mendapatkan syafa'at beliau pada hari kiamat?
     Allah swt. Berfirman:

ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻜُﻮﻧُﻮﺍ۟ ﻛَﭑﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻧَﺴُﻮﺍ۟ ﭐﻟﻠَّﻪَ 
(الحشر: ١٩)

Artinya:
"Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah." (QS. Al-Hasyr: 19)

     Maksudnya ialah janganlah Anda berbuat maksiat seperti perbuatan orang yang lupa kepada Allah swt. yaitu dengan meninggalkan perintah-Nya dan mengerjakan larangan-Nya, bersuka ria dalam pesta kesenangan kehidupan duniawi dan terperangkap oleh tipu dayanya.

     Rasulullah saw. ketika ditanya tentang orang mukmin dan orang munafik, beliau bersabda: "Orang mukmin ialah orang yang tujuan hidupnya untuk shalat dan berpuasa. Sedangkan orang munafik ialah orang yang tujuan hidupnya untuk makan dan minum laksana binatang, meninggalkan ibadah dan shalat. Orang mukmin sibuk bersedekah dan mencari ampunan. Sementara orang yang munafik sibuk dengan kerakusannya dan panjangnya angan-angan yang berlarut-larut. Orang mukmin memutuskan harapan dari setiap orang kecuali kepada Allah swt. dan menawarkan hartanya demi kepentingan agama Allah. Sedangkan orang munafik, menawarkan agamanya demi kepentingan harta dunia. Orang mukmin merasa aman dari semua orang kecuali dari Allah swt. Sedangkan orang munafik gemar berbuat jahat dengan perasaan bangga dan gembira ria. Orang mukmin bertanam dan mengkhawatirkan akan kerusakannya. Sedangkan orang munafik merusak dan mencabuti (tanaman), namun ia berharap bisa memanen. Yang terakhir, orang mukmin memerintah dan melarang menurut ketentuan agama dan berusaha melakukan kebaikan. Sementara orang munafik memerintahkan dan melarang untuk kepentingan dan kepemimpinannya serta suka berbuat kerusakan. Bahkan orang munafik, memerintah yang munkar dan melarang yang ma'ruf."

     Allah swt. Berfirman:

ﺍﻟْﻤُﻨَﺎﻓِﻘُﻮﻥَ ﻭَﺍﻟْﻤُﻨَﺎﻓِﻘَﺎﺕُ ﺑَﻌْﻀُﻬُﻢْ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺾٍ ﻳَﺄْﻣُﺮُﻭﻥَ ﺑِﺎﻟْﻤُﻨْﻜَﺮِ ﻭَﻳَﻨْﻬَﻮْﻥَ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑِ ﻭَﻳَﻘْﺒِﻀُﻮﻥَ ﺃَﻳْﺪِﻳَﻬُﻢْ ﻧَﺴُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻓَﻨَﺴِﻴَﻬُﻢْ ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﻤُﻨَﺎﻓِﻘِﻴﻦَ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻔَﺎﺳِﻘُﻮﻥَ ‏(٦٧) ﻭَﻋَﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟْﻤُﻨَﺎﻓِﻘِﻴﻦَ ﻭَﺍﻟْﻤُﻨَﺎﻓِﻘَﺎﺕِ ﻭَﺍﻟْﻜُﻔَّﺎﺭَ ﻧَﺎﺭَ ﺟَﻬَﻨَّﻢَ ﺧَﺎﻟِﺪِﻳﻦَ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻫِﻲَ ﺣَﺴْﺒُﻬُﻢْ ﻭَﻟَﻌَﻨَﻬُﻢُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﻟَﻬُﻢْ ﻋَﺬَﺍﺏٌ ﻣُﻘِﻴﻢ
(التوبة: ٦٧-٦٨)


Artinya:
"Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang ma'ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik. Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah mela’nati mereka, dan bagi mereka azab yang kekal." (QS. At-Taubah: 67-68).

     Allah swt. Berfirman:

ﺇِﻥَّ ﭐﻟﻠَّﻪَ ﺟَﺎﻣِﻊُ ﭐﻟْﻤُﻨَٰﻔِﻘِﻴﻦَ ﻭَﭐﻟْﻜَٰﻔِﺮِﻳﻦَ ﻓِﻰ ﺟَﻬَﻨَّﻢَ ﺟَﻤِﻴﻌًﺎ
(النساء : ١٤٠)

Artinya:
"Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang fasik di dalam Jahannam." (QS. An-nisa': 140).

     Yakni, yang demikian itu, apabila mereka mati dalam kekafiran dan kemunafikannya. Allah swt. mulai menyebutkan orang-orang munafik (di dalam ayat tersebut) karena lebih buruk dan lebih berbahaya daripada orang-orang kafir. Tetapi Allah swt. menjadikan neraka sebagai tempat bagi mereka semuanya.

     Allah swt. Berfirman:

ﺇِﻥَّ ﭐﻟْﻤُﻨَٰﻔِﻘِﻴﻦَ ﻓِﻰ ﭐﻟﺪَّﺭْﻙِ ﭐﻟْﺄَﺳْﻔَﻞِ ﻣِﻦَ ﭐﻟﻨَّﺎﺭِ ﻭَﻟَﻦ ﺗَﺠِﺪَ ﻟَﻬُﻢْ ﻧَﺼِﻴﺮًﺍ
(النساء : ١٤٥)

Artinya:
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka; dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka." (QS. An-nisa' : 145).

     Lafal munafik, diambil dari lafal nafiqa'ul yarbu' yang mengandung pengertian liang binatang sejenis tikus, tetapi kakinya lebih panjang dari tangannya, ekornya dan telinganya lebih panjang bila dibandingkan dengan tikus. Dijelaskan bahwa binatang yarbu' memiliki dua liang, liang yang satu disebut natiqa', sedangkan liang yang kedua disebut qashia'. Binatang itu dapat menampakkan diri dari liang yang satu dan keluar dari liang yang lain. Orang munafik biasa menampakkan dirinya seolah-olah sebagai orang muslim, tetapi sesungguhnya dia keluar dari Islam menuju kekafiran.

     Disebutkan dalam sebuah hadits: "Sesungguhnya perumpamaan orang-orang munafik itu seperti seekor kambing yang Anda lihat berada di antara dua kelompok kawanan kambing. Suatu saat ia menuju pada kelompok yang ini, pada saat yang lain ia pergi ke arah kelompok yang lainnya. Kambing itu tidak menetap pada salah satu kelompok dari keduanya, sebab ia adalah kambing asing dan bukan merupakan bagian dari kelompok tersebut." Demikian pula halnya dengan orang munafik, dia tidak menetap sepenuhnya bersama kaum muslimin, juga tidak bersama orang-orang kafir.

     Sesungguhnya Allah swt. menciptakan neraka memiliki tujuh pintu. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah swt: "Neraka Jahannam itu memiliki tujuh pintu." (QS. Al-Hijr: 44).

     Pintu neraka berupa besi yang penuh dengan laknat. Bagian luarnya terdiri dari tembaga dan bagian dalamnya adalah timah. Dasarnya adalah siksaan dan atasnya adalah kemurkaan. sedangkan buminya adalah tembaga kaca, besi dan timah. Api meliputi penghuni neraka dari segala penjuru, dari atas, bawah, sisi kanan dan kiri mereka. Neraka itu bertingkat-tingkat dari yang terbatas dan yang terbawah. Allah menyediakan bagi orang-orang munafik di dalam tingkatan paling bawah yang merupakan tingkatan neraka yang paling pedih siksanya.

     Dijelaskan dalam suatu hadis riwayat Anas bin Malik bahwa pada suatu ketika Malaikat Jibril datang kepada Nabi Muhammad saw. Beliau berkata: "Wahai Jibril, jelaskan padaku mengenai sifat dan panasnya neraka." Jibril berkata: "Sesungguhnya Allah menciptakan neraka, lalu menyalakan apinya selama seribu tahun, hingga berwarna merah. Kemudian Ia menyalakannya lagi selama seribu tahun hingga warnanya menjadi hitam pekat. Demi Tuhan yang mengutus Anda dengan haq sebagai Nabi, seandainya sebuah pakaian dari pakaian-pakaian penghuni neraka tampak oleh penghuni bumi dan dicelupkan ke dalam air di bumi, tentu semua manusia yang mencicipinya akan binasa dan mati."

Seandainya satu dzira'  (hasta) dari rantai neraka, sebagaimana yang disebutkan Allah SWT. dalam firman-Nya: "Kemudian belitlah dia dengan rantai, yang panjangnya tujuh puluh dzira'." (QS. Al-Haqqah: 32).
Setiap satu dzira' dari rantai itu, panjangnya sejauh jarak antara ujung timur dari belahan dunia sampai pada bagian yang paling barat. Lalu seandainya satu dzira' itu diletakkan di atas gunung-gunung di dunia, tentu gunung-gunung itu akan hancur. Seandainya seorang laki-laki masuk neraka ke dalam neraka, lalu di keluarkan ke bumi, tentu seluruh penghuni bumi akan mati karena sengatan kebusukan baunya.

     Rasulullah saw. bertanya kepada Jibril: "Ya Jibril, jelaskan kepadaku mengenai sifat-sifat pintu neraka Jahannam. Apakah pintu Jahannam itu, sebagaimana pintu-pintu kami di dunia ini?" Jibril berkata: "Tidak, ya Rasulullah, tetapi pintu Jahannam itu terdiri dari beberapa tingkat, sebagian lebih rendah dari sebagian yang lain. Jarak antara satu pintu dengan pintu yang lain, sejauh perjalanan tujuh puluh tahun. Setiap pintu yang lebih bawah satu tingkat dari atasnya derajat kepanasannya lebih dahsyat mencapai tujuh puluh kali lipat lebih panas."
     Nabi saw. juga bertanya mengenai para penghuni dari setiap pintu-pintu neraka itu, lalu Malaikat Jibril menjawabnya sebagai berikut:
     Pertama:  "Orang-orang munafik berada di dalam tingkatan neraka yang paling bawah, yang bernama neraka Hawiyah. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah swt : "Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka, dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka." (QS. An-nisa': 145)
     Kedua:  Orang-orang musyrik berada di dalam tingkatan yang kedua, namanya ialah neraka Jahim.
     Ketiga:  Orang-orang dari golongan Sabi'in, berada di dalam tingkatan yang ke tiga, namanya ialah neraka Saqar.
     Keempat:  Iblis 'alaihil la'nah dan para pengikutnya dari golongan kaum Majusi berada di dalam tingkatan yang keempat, namanya ialah Lazha.
     Kelima:  Orang-orang Yahudi berada di dalam tingkatan yang kelima, namanya ialah neraka Huthamah.
     Keenam:  Orang-orang Nasrani berada di dalam tingkatan yang keenam, namanya ialah neraka Sa'ir.
     Kemudian Malaikat Jibril diam tak melanjutkan mengenai penghuni neraka yang melalui pintu ke tujuh. Maka Nabi saw. bertanya: "Mengapa Anda tidak mengkhabarkan kepadaku mengenai penghuni pintu neraka yang ketujuh?" Malaikat Jibril menjawab: "Wahai Muhammad, janganlah Anda bertanya mengenai hal itu." Beliau berkata kepada Jibril: "Khabarkan kepadaku mengenai penghuni pintu yang ke tujuh itu." Lalu Jibril berkata kepada beliau: "Yang menjadi penghuni pada tingkatan yang ketujuh itu ialah orang-orang yang ahli melakukan dosa besar dari umatmu yang hingga mati belum bertobat."

     Diriwayatkan, bahwa ketika diturunkan kepada Nabi saw. ayat dari firman Allah saw. berikut ini:

ﻭَﺇِﻥ ﻣِّﻨﻜُﻢْ ﺇِﻟَّﺎ ﻭَﺍﺭِﺩُﻫَﺎ ۚ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻰٰ ﺭَﺑِّﻚَ ﺣَﺘْﻤًﺎ ﻣَّﻘْﻀِﻴًّﺎ
(مريم :٧١)

     Artinya:
     "Dan tidak ada seorang pun daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu, Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan." (QS. Maryam: 71).

     Rasulullah pingsan mendengar penjelasan Jibril tersebut. Jibril meletakan kepala Rasulullah di pangkuannya sampai Beliau sadar kembali.
Salman Al-Farisi datang dan berdiri di depan pintu seraya berkata: ”Assalaamu'alaikum, yaa ahla baitir rahmah, apakah saya bisa bertemu dengan junjunganku Rasulullah Saw.?" Namun tidak ada yang menjawab, sehingga meraka pun menangis dan terjatuh.
Rasulullah bersabda: "Betapa besar cobaan yang menimpaku dan aku merasa sangat sedih. Jadi, ada di antara umatku yang akan masuk neraka?" Jibril menjawab: "benar, yaitu umatmu yang mengerjakan dosa-dosa besar."
Kemudian Rasulullah saw. menangis, dan Jibril pun juga ikut menangis. Rasulullah Saw. lantas masuk ke rumahnya dan menyendiri. Beliau hanya keluar rumah jika hendak mengerjakan shalat dan tidak berbicara dengan siapa pun. Dalam shalat beliau menangis dan sangat merendahkan diri kepada Allah Ta’ala.
Pada hari yang ketiga, Abu Bakar r.a. datang ke rumah beliau dan mengucapkan: ”Assalaamu’alaikum, yaa ahla baitir rahmah, apakah saya bisa bertemu dengan Rasulullah SAW. ?” Namun tidak ada seorang pun yang menjawabnya, sehingga Abu Bakar menangis tersedu-sedu.
Umar r.a. datang dan berdiri di depan pintu seraya berkata: ”Assalaamu' alaikum, yaa ahlal baitir rahmah, apakah saya bisa bertemu dengan Rasulullah Saw.?" Namun tidak ada seorang pun yang menjawabnya, sehingga Umar lantas menangis tersedu-sedu.
Kemudian Salman bangkit dan mendatangi rumah Fathimah. Sambil berdiri di depan pintu ia berkata: "Assalaamu' alaikum, wahai putri Rasulullah Saw” sementara Ali r .a. sedang tidak ada di rumah. Salman lantas berkata: "Wahai putri Rasulullah Saw ., dalam beberapa hari ini Rasulullah Saw. suka menyendiri. Beliau tidak keluar rumah kecuali untuk shalat dan tidak pernah berkata-kata serta tidak mengizinkan seseorang untuk masuk ke rumah beliau." Fathimah lantas pergi ke rumah beliau (Rasulullah). Di depan pintu rumah Rasulullah Saw. Fathimah mengucapkan salam dan berkata: "Wahai Rasulullah, saya adalah Fathimah." Waktu itu Rasulullah Saw. sedang sujud sambil menangis, lantas mengangkat kepala dan bertanya: ”Ada apa wahai Fathimah, Aku sedang menyendiri. Bukakan pintu untuknya." Maka dibukakanlah pintu untuk Fathimah." Fathimah menangis sejadi-jadinya, karena melihat keadaan Rasulullah yang pucat pasi, tubuhnya tampak sangat lemah, mukanya sembab karena banyak menangis. Fathimah bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah yang sedang menimpa dirimu wahai ayahku?" Beliau bersabda: "Wahai Fathimah, Jibril datang kepadaku dan melukiskan keadaan neraka. Dia memberitahu kepadaku bahwa pada neraka yang teratas diperuntukkan bagi umatku yang mengerjakan dosa besar. Itulah yang menyebabkan aku menangis dan sangat sedih."

     Orang yang arif (ma'rifat) kepada Allah, pada kekuasaan dan keperkasaan-Nya, tentu menjadi sangat takut Kepada-Nya, lalu menangis atas kecerobohan dan kelengahan dirinya, sebelum menyaksikan penderitaan dan kedahsyatan kehidupan akhirat yang amat menakutkan itu. Sebelum semua tirai penutup dirobek-robek lalu ia dihadapkan pada Yang Maha Penyiksa dan di perintahkan oleh-Nya agar masuk neraka. Berapa banyak orang tua berteriak memanggil-manggil di dalam neraka: "Aduh....uban-uban dan ketuaanku, betapa celakanya aku ini." Betapa banyak para pemuda berteriak memanggil-manggil di dalam neraka: "Aduh....masa mudaku." Betapa banyak wanita berteriak memanggil-manggil di dalam neraka: "Aduh....betapa hina dan sengsaranya aku."
     Pada hari itu, semua tirai penutup aib menjadi hancur, wajah dan jasad mereka menjadi hitam pekat, punggung-punggung mereka menjadi patah dan remuk redam, yang tua tak lagi dimuliakan dan yang muda rak juga disayang. Rahasia dan aib para wanita pun tak lagi ditutupi.



     Ya Allah, jauhkanlah kami dari neraka dam Selamatkanlah kami dari siksanya. Jauhkanlah kami dari perbuatan yang dapat mendekatkan kami kepada neraka, dan masuklah kami ke dalam surga bersama orang-orang yang baik dan mulia berkat rahmat dan anugerah-Mu, ya Tuhan Yang Maha Agung lagi Maha Pengampun. Ya Allah, Tutupilah aurat (rahasia) kami dan Selamatkanlah kami dari ketakutan yang amat sangat mencekam. Hindarkanlah kami dari kesalahan-kesalahan, dan janganlah Engkau mempermalukan kami di hadapan-Mu, ya Tuhan Yang Maha Penyayang diantara para penyayang. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada baginda Muhammad saw., para keluarga dan juga sahabat beliau.

Kamis, 26 Februari 2015

KELALAIAN





     Kelalaian atau kelengahan akan menambah penyesalan, kelalaian akan menghilangkan kenikmatan dan menghalangi penghambaan kepada Allah. Kelengahan akan menambah kedengkian, keaiban dan kekecewaan.

     Diceritakan bahwa ada sebagian orang-orang saleh, bermimpi melihat gurunya. Dalam mimpi itu ia bertanya kepada sang guru: "Penyesalan manakah yang terbesar menurut Anda?" Sang guru menjawab: "Penyesalan akibat kelengahan."

     Ada pula riwayat yang menyebutkan bahwa sebagian mereka bermimpi melihat Dzun Nun Al-Mishri, lalu ia berkata kepadanya: "Apakah yang diperbuat Allah pada Anda?" Dzun Nun menjawab: "Dia telah menundukkan aku di hadapan-Nya, lalu berfirman kepadaku: "Hai orang yang berpura-pura, orang yang bohong, Anda mengaku cinta kepada-Ku, tetapi kemudian Anda lengah dari Aku. Sebagaimana disebutkan dalam syair:

أنت فى غفلة وقلبك سا هى * ذهب العمروالذنوب كما هى

"Anda terlelap dalam kelalaian dan hati Anda alpa, usia Anda terus berlalu sementara dosa-dosa tetap mengundang."

     Diceritakan bahwa ada seseorang laki-laki yang saleh bermimpi melihat ayahnya. Dia bertanya kepada ayah: "Wahai ayahku, bagaimana kondisi Anda?" Sang ayah menjawab: "Ketika hidup di dunia saya dalam keadaan lengah dan mati pun saya dalam kondisi lengah."

     Disebutkan di dalam kitab Zahrur Riyadh, bahwa Nabi Ya'kub bersaudara dengan malaikat maut, suatu ketika malaikat maut datang pada Nabi Ya'kub, lalu ia bertanya kepadanya: "Wahai malaikat maut, Anda datang hanya mengunjungi aku ataukah untuk mencabut nyawaku?" "Aku datang hanya berkunjung pada Anda", jawabnya. Nabi Ya'kub berkata: "Aku harap Anda sudi memenuhi hajat dan permohonanku." "Hajat apakah itu", tanya malaikat maut. Nabi Ya'kub berkata: "Apabila ajalku telah dekat dan Anda akan mencabut nyawaku, hendaklah kiranya Anda memberitahukan kepadaku." Malaikat maut menjawab: "Ya, akan aku kirimkan pada Anda dua atau tiga utusan."
     Ketika ajal Nabi Ya'kub telah tiba, datanglah malaikat maut kepadanya, dan Nabi Ya'kub bertanya kepadanya sebagaimana biasanya: "Wahai malaikat maut, Anda datang berkunjung ataukah untuk mencabut nyawaku?" "Aku datang untuk mencabut nyawa Anda" Jawab malaikat maut. Lalu Nabi Ya'kub bertanya, seolah menagih janji: "Bukankah Anda telah berjanji kepadaku bahwa sebelum Anda mencabut nyawaku, terlebih dahulu Anda akan mengirim utusan kepadaku?"  "Aku telah melakukan hal itu dan menepati janjiku", Jawab malaikat maut. "Putihnya rambut Anda, yang sebelumnya hitam; lemahnya tubuh Anda setelah kuat sebelumnya, adalah merupakan utusan kepada anak Adam sebelum kematiannya, hai Ya'kub", Sambungnya.

مضى الدهر والأيام والذنب حاصل * وجاء رسول الموت والقلب غافل.
نعيمك فى الدنيا غرور وحسرة * وعيشك فى الدنيا محال وباطل.

"Masa terus berlalu, hari-hari pun terus melaju sementara dosa tetap terjadi; telah datang utusan kematian, sementara hati terlelap dalam kealpaan. Kenikmatan Anda di dunia merupakan tipuan dan penyesalan; kehidupan Anda di dunia penuh dengan kesemuan dan kebatilan."

     Abu Ali Ad-Daqaq berkata: "Suatu ketika  aku datang mengunjungi salah seorang saleh yang sedang sakit. Dia termasuk salah seorang masyayikh besar. Saat itu, ia dikelilingi oleh murid-muridnya dan menangis. Dia seorang syekh yang telah lanjut usia. Dalam kondisinya yang kritis itu aku bertanya: "Wahai tuan, mengapa Anda menangis? Apakah ada urusan mengenai persoalan dunia?" Dia menjawab: "Bukan itu penyebabnya, tetapi karena shalatku yang terbengkalai." Aku kembali bertanya: "Bagaimana hal itu bisa terjadi, padahal Anda adalah orang yang rajin menjalankan shalat?" Dia menjawab: "Tidakkah Anda melihat kondisiku saat ini, aku terbaring tidak dalam keadaan bersujud, aku tak dapat mengangkat kepala dan kesadaranku tak terkonsentrasi mengingat Tuhanku, aku tengah dalam kelalaian. Sementara saat ini adalah detik-detik kekritisanku yang akan mengantarkan aku pada kematian dalam keadaan lengah. Selanjutnya ia mendesah dan bersyair:

"Aku merenungkan kondisiku, saat dihalau di hari kiamat; saat dibaringkannya pipiku di alam kubur seorang diri, yang sebelumnya mulia dan berderajat tinggi; dosa-dosaku tergadaikan, sedangkan aku berbantal tanah liat. Aku merenungkan tentang panjang dan luasnya hisab; tentang tentang kehinaan kedudukanku, saat menerima kitab catatan amalku, Tetapi harapanku kepada-Mu ya Tuhan yang menciptakanku; Hendaklah kiranya Engkau mengampuni dosa-dosaku, ya Ilahi."

     Di dalam kitab Uyunul Akhbar disebutkan bahwa Syaqiq Al-Bulkhi berkata: "Manusia mengucapkan tiga hal, tetapi mereka benar-benar mengingkari apa yang diucapkannya itu dalam perbuatannya." Mereka berkata: "Kami adalah hamba-hamba Allah." Tetapi perbuatan mereka seperti perbuatan orang-orang yang merdeka. Yang demikian ini, adalah pengingkaran atas ucapannya. Mereka berkata: "Allah yang menanggung semua rizki kami." Tetapi hati mereka tidak tenang dan tidak merasa puas kecuali dengan dunia dan mengumpulkan harta kekayaan. Ini adalah sebuah pengingkaran atas ucapannya. Yang terakhir, mereka mengatakan: "Kematian adalah sebuah kepastian." Tetapi perbuatan mereka seolah-olah tidak akan mati. Ini juga sebuah pengingkaran atas ucapan mereka.

     Maka renungkanlah wahai saudaraku, dengan tubuh yang mana Anda akan menghadap ke hadirat Allah swt.? Dengan lidah yang mana Anda akan mempertanggungjawabkan di hadapan-Nya? Apa yang akan Anda katakan, ketika Dia bertanya mengenai sesuatu dari yang terkecil sampai yang terbesar? Maka persiapkanlah jawaban yang benar untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Takutlah kepada Allah, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan, yang baik maupun yang buruk. Kemudian berilah nasehat kepada orang-orang mukmin agar tidak meninggalkan perintah-Nya dan hendaklah mereka mengesakan-Nya baik dalam kesunyian maupun keramaian, dalam keadaan suka maupun duka.

     Nabi Muhammad saw. Bersabda: "Tertulis pada tiang Arasy 'Sesungguhnya Aku berkenan untuk mengindahkan orang yang taat kepada-Ku; Aku mencintai orang yang mencintai Aku; Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa kepada-Ku dan Aku mengampuni orang yang memohon ampun kepada-Ku."

     Oleh sebab itu, menjadi sebuah keharusan bagi orang yang berakal untuk taat kepada Allah dengan rasa takut dan tulus ikhlas. Ridha dengan qadha'-Nya, sabar atas cobaan-Nya, bersyukur atas segala nikmat-Nya dan menerima dengan penuh kerelaan akan pemberian-Nya.

     Dalam sebuah hadis Qudsy, Allah swt, Allah swt. Berfirman: "Barangsiapa yang tidak ridha dengan qadha'-Ku, tidak sabar atas cobaan-Ku, tidak bersyukur atas nikmat-Ku dan tidak puas dengan pemberian-Ku, maka hendaklah ia mencari Tuhan selain Aku."

     Seorang laki-laki berkata kepada Hasan Bashri: "Sesungguhnya aku tidak merasakan kenikmatan dalam kebaktian kepada Allah." Hasan Bashri berkata kepadanya: "Mungkin Anda melihat wajah orang yang tidak takut kepada Allah. Sesungguhnya pengabdian adalah membuang jauh semua hal dan memfokuskan orientasi pengabdian hanya kepada Allah swt. semata."
     Di samping itu, ada seorang laki-laki berkata kepada Abu Yazid: "Sesungguhnya aku tidak menemukan kelezatan dalam ketaatan kepada Allah." Abu Yazid menjawab: "Anda melakukan ketaatan karena ketaatan itu, bukan semata-mata mengabdi kepada Allah swt. Mengabdilah kepada Allah dengan sepenuhnya dan tulus ikhlas, hingga Anda menemukan kenikmatan dalam kebaktian dan pengabdian kepada-Nya."

     Ada seorang laki-laki melakukan shalat, ketika membaca surat Al-fatihah dan sampai pada ayat: Iyyaaka na'budu (hanya Engkaulah yang kami sembah), terlintas dalam hatinya bahwa ia sedang mengabdi kepada Allah swt. dengan sebenarnya. Namun di dalam batinnya terdengar panggilan: "Anda bohong, sesungguhnya Anda mengabdi kepada makhluk." Kemudian ia bertobat dan menjauhkan diri dari manusia. Lalu ia melakukan shalat lagi, sesampainya ia membaca surat Al-fatihah ayat: Iyyaaka na'budu (hanya Engkaulah yang kami sembah), terdengar lagi suatu panggilan dalam batinnya: "Anda bohong, Anda mengabdi kepada harta Anda." Maka semua harta kekayaannya di sedekahkan. Kemudian ia shalat lagi, dan ketika membaca ayat: Iyyaaka na'budu (hanya Engkaulah yang kami sembah), terdengar lagi suara panggilan dalam batinnya: "Anda bohong, sesungguhnya Anda melakukan ibadah karena pakaian Anda." Maka ia menyedekahkan pakaiannya kecuali pakaian yang dia pakai. Lalu ia melakukan shalat lagi, dan ketika ia sedang membaca ayat: Iyyaaka na'budu (hanya Engkaulah yang kami sembah), batinnya mendengar sebuah panggilan lagi: "Sekarang, barulah Anda benar, sesungguhnya Anda tengah melakukan pengabdian kepada Allah swt., Tuhan Anda."

     Di dalam kitab Raunaqul Majalis terdapat sebuah kisah, bahwa ada seorang laki-laki yang kehilangan beberapa tempat barang (zawaliq), dia tidak mengetahui siapa yang telah mengambilnya. Ketika dia sedang melakukan shalat, barulah ia teringat orang yang mengambilnya. Selesai shalat dia langsung berkata kepada budak pelayannya: "Pergilah kepada si Fulan bin Fulan, mintalah kembali zawaliq itu darinya." Si pelayanan berkata: "Kapan Anda mengingatnya, tuan?" "Tadi ketika aku sedang shalat", Jawabnya. Si pelayan kembali berkata: "Wahai tuanku, kalau begitu, Anda adalah orang yang mencari zawaliq dalam shalat, bukan mencari Tuhan Sang Pencipta." Akhirnya, budak itu dimerdekakan oleh tuannya, berkat keyakinan dan keimanannya.

     Oleh sebab itu, bagi orang yang berakal seyogyanya meninggalkan dunia untuk mengabdi kepada Allah swt., memikirkan masa depannya demi kepentingan dan kebahagiaan akhirat.
     Allah swt. Berfirman:

من كان يريد حرث الآخرة نزدله فى حرثه ومن كان يريد حرث الدنيا نؤته منها وماله فى الآخرة من نصيب
(الشورى: ٢٠)

Artinya:
"Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat." (QS. Ash-Shūraá :20)

     Keuntungan dunia berarti kelezatan-kelezatannya, diantaranya berupa pakaian, makanan, minuman dan lain sebagainya. Sedangkan maksud dari tidak ada baginya satu bagianpun di akhirat ialah dicabut dari hatinya kecintaan kepada akhirat.
     Karenanya, Abu Bakar As-shiddiq menginfakkan hartanya kepada Nabi Muhammad saw. Sebanyak empat puluh ribu dinar secara tersembunyi dan empat puluh ribu lagi secara terang-terangan. Sehingga tidak tersisa sesuatupun padanya.

     Nabi Muhammad saw. dan keluarganya adalah orang-orang yang berpaling dari kenikmatan, kesenangan dan kelezatan dunia. Karena itulah, sehingga ketika Nabi Muhammad saw. menikahkan putrinya, Fatimah Az-zahra ra. dengan Ali,  pelaminannya hanya berupa kulit domba yang disucikan (disamak), sedangkan bantalnya berupa kulit binatang yang berisikan sabut.

Senin, 16 Februari 2015

Menu Mengenal Diri Mengenal Allah

Menu-menu Istimewa di Cafe Sufi yang akan memberikan cita rasa mengenal diri dan mengenal Allah. Silakan santap dan nikmati.

Menu Mengenal Diri

Di Cafe Sufi, sudah banyak orang berduyun-duyun dengan wajah-wajah beragama, dari mereka yang stress sampai mereka yang kelihatan sumringah, menanti menu apa yang bakal disuguhkan hari ini.
Rupanya di gerbang Cafe itu, terpambang “Menu Istemewa hari ini”. Mereka berkemrumun mebacanya, ingin segera berebut hidangannya. Siapa pun dari mereka merasa belum kenal dirinya sendiri, lalu mereka segera memesan “Menu Mengenal Diri “.
Sajiannya adalah sejumlah menu yang disiapkan dengan bumu-bumbu yang beraroma ma’rifatullah. Karenaa Allah  Swt, menjadikan  sebab kema’rifatan hamba kepada Tuhannya, melalui pengenalan hamba pada dirinya, “Siapa yang mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya.”
Maknanya, bumbunya disiapkan oleh kokinya:
Sang koki mengajak sebelum mencicipi masakan ma’rifat ini, agar mereka mengenal dirinya dengan wujud kehambaannya, karena dengan demikian  maka ia mengenal Tuhannya dengan RububiyahNya.
Siapa mengenal dirinya dengan fananya, maka dia mengenal Tuhannya dengan Baqa’Nya.
Siapa yang mengenal dirinya dengan kehampaan dan serba salahlnya, maka ia mengenal Tuhannya dengan keselarasan dan anugerahNya.
Siapa mengenal dirinya dengan rasa butuhnya, maka dia mengenal Tuhannya dengan menegakkan rasa sangat terdesak untuk menuju hanya kepada dan bagi Allah.

Setelah itu mereka diajak secara berjama’ah untuk mengenal dirinya  hanya bagi Tuhannya, maka sedikit sekali kebutuhan kepada selain Allah.
“Apakah masih ada menu tambahan?” Tanya seorang pelanggan.
“Menu ini, dengan bumbu-bumbunya sudah cukup bagi anda. Bagaimana anda merasa kurang ketika belum mulai memasaknya?” kata koki.

Menu Mengenal Allah

Setelah mereka memasak secara bersamaan menu mengenal diri, mereka pun merasakan dan memakannya dengan kondisi ruhani mereka masing-masing. Semakin banyak memakan sajian itu semakin lapar jiwanya, semakin dahaga batinnya, semakin  ingin dan ingin menabah lagi. Sang koki memberikan arahan agar menuju bilik “Ma’rifatullah”.
Bumbunya disiapkan dengan olahan hidayah dariNya. Ditambah dengan cara mengolahnya penuh semangat menegakkan hak-hak RububiyahNya, lalu dirasakan dengan tasyakkur atas balasanNya.
Sebelum memulai, mereka harus bersama-sama melihat dirinya yang fana penuh kehambaan, lalu mulai dengan raihan:
Siapa mengenal Allah melalui hidayah, maka ia pasti menyerahkan sepenuhnya kepadaNya.
Siapa mengenal Allah melalui RububiyahNya, ia tegak dengan prasyarat Ubudiyah kepadaNya.
Siapa mengenal Allah melalui balasanNya, maka terjadilah rasa mohon pertolongan padaNya.
mengenal Allah melalui kecukupan dariNya, maka ia tidak butuh kepada selain DiriNya
Mereka semakin fana’ ketika mencicipinya, bahkan semakin Baqa’ dalam Baqa’Nya, semakin baqa’ malah semakin fana’. Wallahu A’lam, masing-masing merasakan sesuai dengan kesiapan jiwanya.

Menu yang dihindari dalam Mengenal Allah

Usai menikmati menu ma’rifatullah, mereka pulang ke wilayah ruhani masing-masing. Tapi dari manajemen Cafe Sufi memberikan cendera qalbu yang sangat istemewa agar mereka tetap teguh dan istiqomah.
Mereka dapatkan oleh-oleh menu yang tak kalah istemewanya. Karena banyak bumbu yang luar biasa dalam meningkatkan gairah ruhani, dan hal-hal yang harus benar-benar dihindari.
Misalnya, menu ini harus dihindarkan dari campur aduk kepentingan selain Allah azza wa-Jalla, dihindarkan dari kepuasan pada selain Allah Swt, dan dihindarkan dari sisa-sisa kemakhlukan dalam hatinya.
Lalu tertuilislah dalam kenang-kenangan itu:
Siapa yang mengenal Allah, sedang dalam qalbunya ada hasrat selain Allah, berarti tak pernah sujud yang sejati kepada Allah.
Siapa yang mengenal Allah, sedang ia tidak merasa cukup bersama Allah, maka Allah tidak pernah mencukupinya.
Siapa yang berkata, “Allah” namun dalam hatinya masih tersisa selain Allah, sesungguhnya ia tidak pernah berkata “Allah”.
Memang, siapa yang takut kepada Allah dalam segala hal, maka Allah memberikan rasa aman dari ancaman segala hal.
Siapa yang bahagia dengan Tuhannya, maka segala hal selain diriNya tak membuatnya gentar.
Siapa yang mencari kemuliaan kepada Yang Empunya Sifat Mulia, maka ia pun jadi mulia.
Siapa yang mencari kemuliaan selain DiriNya, maka tak ada kebanggaan dan tak ada kemuliaan yang didapatinya.
Siapa yang putus dari sebab akibat dunia yang bisa menyibukkan dari Allah Swt, maka ia akan bertemu dengan segala kesibukan yang menyambungkan dirinya pada Allah Swt.
Siapa yang meninggalkan ikatan ketergantungan pada makhluk, ia akan bahagia dalam seluruh waktunya.
Siapa yang merasakan manisnya dzikir pada Tuhannya, ia akan bosan mengingat selain Allah.
Siapa yang menyembunyikan rahasia hatinya, akan muncul rahasia-rahasia tersembunyi padanya.
Siapa yang menjadikan hasratnya adalah Satu hasrat kepadaNya, maka Allah mencukupi seluruh hasratnya.
Siapa yang mencari ridlo Tuhannya, ia tak akan pernah peduli dengan kebencian selain Allah.
Siapa yang merasa cukup puas dengan maqom (posisi ruhani)nya, ia malah terhijab dari apa yang di depannya (maqom lebih tinggi).
Siapa yang dekat kepada Allah, maka segala hal selain Allah terasa asing.
Siapa yang menghendaki kemuliaan dunia akhirat, hendaknya ia memutuskan diri hanya kepada Sang Pemilik dunia akhirat.
Siapa yang meninggalkan kebaikan menjaga diri, ia akan terpleset dari jalan hidayah.
Siapa yang hendak minum dari Cinta Allah satu tegukan, hendaknya ia juga minum  dengan memuntahkan segala hal selain Allah.
Siapa yang mesra bahagia dengan selain Allah, segalanya membuatnya jadi gentar.
Siapa yang hatinya tenteram pada selain Allah, maka ia tak dapat apa pun dari Allah Swt.
Wuuih, betapa bahagianya mereka pulang ke wilayah semesta dengan oleh-oleh itu. Subhanallah!.

Jumat, 13 Februari 2015

Kemenangan Nafsu dan Permusuhan Setan





     Bagi orang yang berakal, seharusnya mengendalikan kecenderungan hawa nafsunya dengan menahan lapar. Karena lapar merupakan pengendalian terhadap musuh Allah, sementara hal-hal yang menyuburkan setan adalah memperturutkan hawa nafsu, makan dan minum.
     Nabi Muhammad saw bersabda: "Sesungguhnya setan berada dalam diri anak Adam berjalan bersama peredaran darah, maka persempitlah perjalanannya dengan cara lapar."
Sesungguhnya manusia yang lebih dekat kepada Allah swt. Kelak dihari kiamat adalah orang yang lebih lama menahan lapar dan haus. Dan dosa yang paling besar yang akan merusak dan menghancurkan anak Adam adalah keinginan nafsu perut. Sebab keinginan nafsu perut, Adam dan Hawa di usir dari perkampungan yang abadi, yaitu surga pada perkampungan yang hina dan miskin, yaitu dunia. Ketika Tuhan melarang mereka untuk memakan buah syajarah, keduanya terkalahkan oleh keinginan nafsu perutnya dan tetap memakan buah itu. Akhirnya aurat keduanya menjadi tampak. Pada hakekatnya, perut merupakan sumber dari segala keinginan nafsu.
     Orang ahli hikmah berkata:"Barangsiapa yang dikuasai hawa nafsunya, maka dia menjadi tertawan oleh kecintaan terhadap keinginan-keinginannya dan terkungkung dalam kesalahan-kesalahannya. Dan hawa nafsu itu akan menghalangi hatinya untuk dapat menerima faedah."
Barangsiapa yang menyirami anggota-anggota tubuhnya dengan memperturutkan kesenangan-kesenangan nafsu, berarti dia menanam pohon penyesalan di dalam hatinya.

     Allah menciptakan makhluk dalam tiga kategori. Dia menciptakan malaikat dan menyusun di dalam diri mereka akal, tanpa dibekali dengan nafsu. Dia menciptakan binatang dan menyusun didalamnya keinginan (nafsu), tanpa dibekali dengan akal. Sementara manusia makhluk yang lebih baik, dia dibekali akal juga dilengkapi dengan keinginan nafsu. Barangsiapa yang akalnya dapat mengalahkan keinginan hawa nafsunya, maka dia akan mencapai tataran yang lebih baik dari malaikat.

     Ibrahim Al-Khawwash berkata: "Suatu ketika aku berada di gunung Lukam, saat aku melihat buah delima, aku menjadi menginginkannya, maka aku mengambil satu buah delima dan membelahnya, namun rasanya masam, dan aku lalu meninggalkannya." Selanjutnya aku melihat seorang laki-laki terlempar yang dikerumuni oleh lebah-lebah. Aku mengucapkan salam kepadanya. "Assalamu'alaika." Dia menjawab: "Wa'alaikassalam, ya Ibrahim." Aku berkata: "Aku perhatikan Anda mempunyai urusan dengan Allah, hendaklah Anda memohon kepada-Nya agar Ia menyelamatkan Anda dari sengatan lebah-lebah ini." Laki-laki itu berkata: "Aku melihat Anda mempunyai kedudukan di sisi Allah, maka hendaklah kiranya Anda meminta kepada-Nya agar Ia menyelamatkan Anda dari keinginan terhadap buah delima. Karena delima seseorang menjadi sakit di dunia. Sementara sengatan lebah hanya terletak dan mengenai tubuh, sedangkan sengatan hawa nafsu, mengenai hati." Kemudian aku pergi meninggalkannya.

     Karena keinginan nafsu, seorang raja menjadi di perbudak olehnya, sementara karena kesabaran membuat seorang hamba menjadi raja. Tidakkah Anda tahu tentang kisah Nabi Yusuf dan Zulaikha? Nabi Yusuf, benar-benar menjadi raja di Mesir berkat kesabarannya, sementara Zulaikha menjadi orang yang hina dina, miskin dan buta karena terseret oleh keinginan hawa nafsunya. Dia tidak memiliki kesabaran dalam menghadapi cintanya kepada Nabi Yusuf as.

     Abu Hasan Ar-Razi bercerita, bahwa bermimpi melihat ayahnya setelah dua tahun dari kematiannya. Dalam mimpi ia melihat ayahnya memakai baju aspal. Lalu dia bertanya: "Wahai ayah, mengapa aku melihat Anda sebagai ahli neraka." Sang ayah menjawab: "Wahai anakku, waspadalah Anda dari tipu daya nafsu."
Sebagaimana terungkap dalam syair berikut ini:

اني ابتليت بأربع ما سلطوا * إلا لشدة شقوتي وعنائ
إبليس والدنيا ونفسي والهوى * كيف الخلاص وكلهم اعدائ
وأرى الهوى تدعو اليه خواطري * فى ظلمة الشهوات والآراء

"Aku di uji dengan empat hal yang kesemuanya membebaniku begitu berat dan mencelakakan aku."
"Yaitu Iblis, dunia, jiwa dan hawa nafsuku. Bagaimana bisa keluar daripadanya, karena semuanya adalah musuhku."
"Aku melihat hawa nafsu selalu mengajak dan membisikkan kecenderungannya didalam kegelapan syahwat dan pendapat."

     Hatim Al-Asham berkata: "Nafsuku begitu ulet dan tangguh, ilmuku adalah pedangku, dosaku adalah kerugianku, setan adalah musuhku dan aku adalah orang yang mengkhianati diri sendiri."
     Seorang ahli ma'rifat menceritakan bahwa Hatim menyatakan sesungguhnya jihad itu ada tiga macam, yaitu:
1. Jihad dalam menghadapi orang-orang kafir. Ini merupakan jihad lahiriah, sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah swt:
"Mereka berjihad di jalan Allah." (QS. Al-Maidah: 54).
2. Jihad terhadap orang-orang batil, dengan jalan memberikan pengertian dan menyertainya dengan argumentasi (hujjah). Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah swt: "Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." (QS. An-Nahl:125).
3. Jihad melawan nafsu yang selalu memerintahkan untuk melakukan kejahatan. Allah swt berfirman: "Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami." (QS. Al-Ankabut: 69).
     Nabi Muhammad saw bersabda: "Jihad yang paling utama ialah jihad memerangi hawa nafsu."

Para sahabat ridhwanullahi 'alaihim, ketika pulang dari jihad melawan orang-orang kafir, mereka berkata: "Kita telah kembali dari perang kecil menuju pada perang yang lebih besar." Mereka menyatakan bahwa jihad menghadapi hawa nafsu dan setan sebagai jihad yang besar. Karena jihad melawan orang-orang dalam medan pertempuran, hanya terjadi waktu-waktu  tertentu saja, dan musuh yang dihadapi juga terlihat dan dapat diketahui dengan jelas. Tetapi berperang melawan setan dan hawa nafsu, berarti mereka berperang melawan musuh yang tak dapat dilihat dan medannya pun tidak terbatas. Dengan demikian berperang melawan musuh yang dapat dilihat dengan jelas tentu lebih mudah daripada menghadapi musuh yang tidak dapat dilihat.
     Disamping itu setan memiliki pembantu di dalam diri Anda, yaitu hawa nafsu, sedangkan orang kafir yang Anda hadapi tidak memiliki pembantu dalam diri Anda. Oleh sebab itu berperang melawan hawa nafsu merupakan perang yang spektakuler.
     Ketika Anda dapat membunuh dan mengalahkan orang kafir, berarti Anda meraih kemenangan dan mendapatkan harta rampasan perang. Dan jika orang kafir itu dapat membunuh Anda, maka Anda mati syahid dan mendapatkan balasan surga. Tetapi Anda tidak dapat membunuh setan yang selalu melakukan perlawanan terhadap Anda, dan apabila ternyata setan dapat membunuh dan mengalahkan Anda, maka Anda menjadi terjatuh dalam siksaan Tuhan.

     Sebagaimana disebutkan: "Barangsiapa yang kudanya terlepas dari tangannya dan lari meninggalkannya dalam medan pertempuran, maka kuda itu akan jatuh pada tangan orang-orang kafir yang menjadi musuh Anda, tetapi ketika imannya yang terlepas dan lari meninggalkannya, maka ia menjadi terjatuh ke dalam murka Tuhan Yang Maha Perkasa. Na'udzu billahi minhu.

     Ketika seseorang terjatuh dalam kekuasaan orang-orang kafir, maka tangannya tidak terbelenggu pada lehernya, kakinya tidak diikat, perutnya tidak sampai lapar dan tidak pula telanjang tubuhnya. Tetapi apabila seseorang terjatuh dalam murka Tuhan, maka wajahnya menjadi hitam pekat, tangannya terbelenggu dengan rantai pada lehernya, kakinya diikat dengan tali-tali neraka, makanan dan minumannya api dan pakaiannya pun juga dari api."

Sabtu, 07 Februari 2015

Wudlu' Kaum Sufi

Wudlu' kita sehari-hari, ternyata tidak sekadar membasuh muka, tangan, kepala, telinga maupun kaki. Wudlu' diposisikan sebagai amaliah yang benar-benar menghantar kita semua, untuk hidup dan bangkit dari kegelapan jiwa. Dalam

Wudlu'lah segala masalah dunia hingga akhirat disucikan, diselesaikan dan dibangkitkan kembali menjadi hamba-hamba yang siap menghadap kepada Allah SWT.

Bahkan dari titik-titik gerakan dan posisi yang dibasuh air, ada titik-titik sentral kehambaan yang luar biasa. Itulah, mengapa para Sufi senantiasa memiliki Wudlu' secara abadi, menjaganya dalam kondisi dan situasi apa pun, ketika mereka batal Wudlu, langsung mengambil Wudlu seketika.
Mari kita buka jendela hati kita. Disana ada ayat Allah, khusus mengenai Wudlu.

"Wahai orang-orang yang beriman, apabila engkau hendak mendirikan sholat, maka basuhlah wajahmu dan kedua tanganmu sampai siku-siku, dan usaplah pada kepalamu dan kaki-kakimu sampai kedua mata kaki…"
Manusia yang mengaku beriman, apabila hendak bangkit menuju Allah ia harus berwudlu' jiwanya. Ia bangkit dari kealpaan demi kealpaan, bangkit dari kegelapan demi kegelapan, bangkit dari lorong-lorong sempit duniawi dan mimpi di tidur panjang hawa nafsunya.

Ia harus bangkit dan hadlir di hadapan Allah, memasuki "Sholat" hakikat dalam munajat demi munajat, sampai ia berhadapan dan menghadap Allah.

Sebelum membasuh muka, kita mencuci tangan-tangan kita sembari bermunajat:
Ya Allah, kami mohon anugerah dan barokah, dan kami berlindung kepadaMu dari keburukan dan kehancuran.

Lalu kita masukkan air untuk kumur-kumur di mulut kita. Mulut kita adalah alat dari mulut hati kita. Mulut kita banyak kotoran kata-kata, banyak ucapan-ucapan berbusakan hawa nafsu dan syahwat kita, lalu mulut kita adalah mulut syetan.

Mulut kita lebih banyak menjadi lobang besar bagi lorong-lorong yang beronggakan semesta duniawi. Yang keluar dan masuknya hanyalah hembusan panasnya nafsu dan dinginnya hati yang membeku.
Betapa banyak dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadits, betapa berlimpah ruahnya fatwa amar ma'ruf nahi mungkar, tetapi karena keluar dari mulut yang kotor, hanyalah berbau anyir dalam sengak hidung jiwa kita. Karena yang mendorong amar ma'ruf nahi mungkarnya bukan Alllah, tetapi hasrat hawa nafsunya, lalu ketika keluar dari jendela bibirnya, kata-kata indah hanyalah bau anyir najis dalam hatinya.

Sesungguhnya mulut-mulut itu sudah membisu, karena yang berkata adalah hawa nafsu. Ayo, kita masuki air Ilahiyah agar kita berkumur setiap waktu. Bermunajatlah ketika anda berkumur:
Oh, Tuhan, masukkanlah padaku tempat masuk yang benar, dan keluarkanlah diriku di tempat keluar yang benar, dan jadikanlah diriku dari DiriMu, bahwa Engkau adalah Kuasa Yang Menolongku.

Oh Tuhan, tolonglah daku untuk selalu membaca KitabMu dan dzikir yang sebanyak-banyaknya, dan tetapkanlah aku dengan ucapan yang tegas di dunia maupun di akhirat.

Baru kemudian kita masukkan air suci yang menyucikan itu, pada hidung kita. Hidung yang suka mencium aroma wewangian syahwat dunia, lalu jauh dari aroma syurga. Hidung yang menafaskan ciuman mesra, tetapi tersirnakan dari kemesraan ciuman hakiki di SinggasanaNya.
Oh, Tuhan, aromakan wewangian syurgaMu dan Engkau melimpahkan ridloMu…

Semburkan air itu dari hidungmu, sembari munajatkan
Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari aroma busuknya neraka, dan bau busuknya dunia.

Selanjutnya:
"Basuhlah wajah-wajahmu…"

Dengan menyucikan hatimu dengan air pengetahuan yang manfaat yang suci dan menyucikan, baik itu bersifat pengetahuan syariat, maupun pengetahuan hakikat, serta pengetahuan yang bisa menghapus seluruh penghalang-penghalang, hijab, antara dirinya dan Allah.
Faktanya setiap hari kita Wudlu' membasuh muka kita, tetapi wajah-wajah kita tidak hadir menghadap Allah, tidak "Fa ainamaa tuwalluu fatsamma wajhullah…" (kemana pun engkau menghadap, wajah hatimu menghadap arah Allah).
Kenapa wajah dunia, wajah makhluk, wajah-wajah kepentingan nafsu kita, wajah-wajah semesta, wajah dunia dan akhirat, masih terus menghalangi tatapmuka hati anda kepada Allah Ta'ala? Ini semua karena kebatilan demi kebatilan, baik kebatilan dibalik wajah batil maupun kebatilan dengan selimut wajah kebenaran, telah membatalkan wudlu jiwa kita, dan sama sekali tidak kita sucikan dengan air pengetahuan ma'rifatullah dan pengetahuan yang menyelamatkan dunia akhirat kita.

Hijab-hijab yang menutupi wajah jiwa kita untuk melihat Allah, sudah terlalu tua untuk menjadi topeng hidup kita. Kita bertopeng kebusukan, bertopeng rekayasa, bertopeng kedudukan dan ambisi kita, bertopeng fasilitas duniawi kita, bertopeng hawa nafsu kita sendiri, bahkan bertopeng ilmu pengetahuan kita serta imajinasi-imajinasi kita atau jubah-jubah agama sekali pun.
Lalu wajah kita bopeng, wajah ummat kita penuh dengan cakar-cakar nafsu kita, torehan-torehan noda kita, flek-flek hitam nafsu kita, dan alangkah bangganya kita dengan wajah-wajah kita yang dijadikan landskap syetan, yang begitu bebas menarikan tangan-tangannya untuk melukis hati kita dengan tinta hitam yang dipanggang di atas jahanam.
Karena wajah kita lebih senang berpaling, berselingkuh dengan dunia, berpesta dalam mabuk syetan, bergincu dunia, berparas dengan olesan-olesan kesemuan hidup, lalu memakai cadar-cadar hitam kegelapan semesta kemakhlukan.

Banyak orang yang mata kepalanya terbuka, tetapi matahatinya tertutup. Banyak orang yang mata kepalanya tertutup, matahatinya terbuka. Banyak orang yang matahatinya terbuka tetapi bertabur debu-debu kemunafikan duniawinya. Banyak orang yang sudah tidak lagi membuka matahatinya, dan ia kehilangan Cahaya Ilahi, lalu menikmati kepejaman matahatinya dalam kegelapan, yang menyangka ia dalam kebenaran dan kenikmatan.

Oh, Allah, bersihkan wajahkku dengan cahayaMu, sebagaimana di hari Engkau putihkan wajah-wajah KekasihMu. Ya Allah janganlah Engkau hitamkan wajahku dengan kegelapanMu, di hari, dimana Engkau gelapkan wajah-wajah musuhMu.

Tuhan, sibakkan cadar hitamku dari tirai yang membugkus hatiku untuk memandangMu, sebagaimana Engkau buka cadar para KekasihMu…

"Dan basuhlah kedua tanganmu sampai kedua siku-sikumu…"

Lalu kita basuh kedua tangan kita yang sering menggapai hasrat nafsu syahwat kita, berkiprah di lembah kotor dan najis jiwa kita, sampai pada tahap siku-siku hakikat kita dan manfaat agung yang ada di sana.
Tangan kita telah mencuri hati kita, lalu ruang jiwa kita kehilangan khazanah hakikat Cahaya hati. Tangan nafsu kita telah mengkorupsi amanah-amanah Ilahi dalam jiwa, lalu kita mendapatkan pundi-pundi duniawi penuh kealpaan dan kemunafikan.

Tangan-tangan kita telah merampas makanan-makanan kefakiran kita, kebutuhan hati kita, memaksa dan memperkosa hati kita untuk dijadikan tunggangan liar nafsu kita. Tangan-tangan kita telah memukul dan menampar wajah hati yang menghadap Allah, menuding muka-muka jiwa yang menghadap Allah, merobek-robek pakaian pengantin yang bermahkotakan riasan indah para Sufi.

Maka basuhlah tanganmu dengan air kecintaan, dengan beningnya cermin ma'rifat, dari mata air dari bengawan syurga.
Basuhlah tangan kananmu, sembari munajat:
Oh, Allah..berikanlah Kitabku melalui tangan kananku, dan hitanglah amalku dengan hitungan yang seringan-ringannya.

Basuhlah tangan kririmu dengan munajat:
Oh, Allah, aku berlindung kepadaMu, dari pemberian kitabku dari tangan kiriku atau dari belakang punggungku…

Lalu, mari kita usap kepala kita:
Karena kepala kita telah bertabur debu-debu yang mengotori hati kita, memaksa hati kita mengikuti selera pikiran kira, sampai hati kita bukan lagi menghadap kepadaNya, tetapi menghadap seperti cara menghadap wajah di kepala kita, yaitu menghadap dunia yang hina dan rendah ini.

Pada kepala kita yang sering menunduk pada dunia, pada wujud semesta, tunduk dalam pemberhalaan dan perbudakan makhluk, tanpa hati kita menunduk kepada Allah Ta'ala, kepada Asma-asmaNya yang tersembunyi dibalik semesta lahir dan batin kita, lalu kepala kita memalingkan wajah hati kita untuk berpindah ke lain wajah hati yang hakiki.

Mari kita usap dengan air Cahaya, agar wajah hati kita bersinar kembali, tidak menghadap ke arah remang-remang yang menuju gelap yang berlapis gulita, tidak lagi menengok pada rimba duniawi yang dipenuhi kebuasan dan liar kebinatangannya.
Kepala-kepala kita sering menunduk pada berhala-berhala yang mengitari hati kita. Padahal hati kita adalah Baitullah, Rumah Ilahi. Betapa kita sangat tidak beradab dan bahkan membangun kemusyrikan, mengatasnamakan Rumah Tuhan, tetapi demi kepentingan berhala-berhala yang kita bangun dari tonggak-tonggak nafsu kita, lalu kita sembah dengan ritual-ritual syetan, imajinasi-imajinasi, kebanggaan-kebanggan, lalu begitu sombongnya kepala kita terangkat dan mendongak.

Mari kita usap kepala kita dengan usapan Kasih Sayang Ilahi. Karena kepala kita telah terpanggang panasnya neraka duniawi, terpanaskan oleh ambisi amarah dan emosi nafsu syahwati, terjemur di hamparan mahsyar duniawi.
Sembari kita mengusap, masti munajat:
Oh Allah, payungi kepalaku dengan Payung RahmatMu, turunkan padaku berkah-berkahMu, dan lindungi diriku dengan perlindungan payung ArasyMu, dihari ketika tidak ada lagi paying kecuali payungMu. Oh, Tuhan….jauhkan rambutku dan kulitku dari neraka…Oh…



Usap kedua telingamu. Telinga yang sering mendengarkan paraunya dunia, yang anda kira sebagai kemerduan musik para bidadari syurga. Telinga yang berbisik kebusukan dan kedustaan, telinga yang menikmati gunjingan demi gunjingan. Telinga yang fantastik dengan mendengarkan indahnya musik duniawi, lalu menutup telinga ketika suara-suara kebenaran bersautan. Amboi, kenapa telingamu seperti telinga orang-orang munafik?
Apakah anda lebih senang menjadi orang-orang yang tuli telinga hatinya?

Munajatlah:
Oh Tuhan, jadikan diriku tergolong orang-orang yang mendengarkan ucapan yang benar dan mengikuti yang paling baik. Tuhan, perdengarkan telingaku panggilan-panggilan syurga di dalam syurga bersama hamba-hambaMu yang baik.

Lalu usaplah tengkukmu, sembari berdoa:
Ya Allah, bebaskan diriku dari belenggu neraka, dan aku berlindung kepadaMu dari belenggu demi belenggu yang merantai diriku.

Lalu basuh kaki-kakimu sampai kedua mata kaki:

Kaki-kaki yang melangkahkan pijakannya kea lam dunia semesta, yang berlari mengejar syahwat dan kehinaan, yang bergegas dalam pijakan kenikmatan dan kelezatan pesonanya.
Kaki-kaki yang sering terpeleset ke jurang kemunafikan dan kezaliman, terluka oleh syahwat dan emosinya, oleh dendam, iri dan dengkinya, haruslah segera dibasuh dengan air akhlaq, air yang berumber dari adab, dan bermuara ke samudera Ilahiyah.

Basuhlah kedua kakimu sampai kedua matakakimu. Agar langkah-langkahmu menjadi semangat baru untuk bangkit menuju Allah, menapak tilas Jalan Allah, secepat kilat melesat menuju Allah. Basuhlah dengan air salsabila, yang mengaliri wajah semesta menjadi jalan lurus lempang menuju Tuhan.
Selebihnya, Wudlu’ adalah Taubat, penyucian jiwa, pembersihan batin, di lembah Istighfar. Jangan lupakan Istighfar setiap basuhan anggota wudlu’mu.
Wallahu A'lam.

Negeri Sufi

Di luar langit sana, tiba-tiba bumi mengepulkan asap hitam. Tampak seperti bola hitam yang meruak ke angkasa. Boleh jadi, itulah meteor siang bolong, yang sedang melesat, mengikuti edarnya.


Lalu di sebuah surau desa terpencil yang terbuat dari anyaman bambu, dua sosok masih bersila saling berhadapan, sembari mengepulkan asap rokok.
“Negeri ini sedang berguncang, sebagaimana yang kita lihat dalam riak gelombang lautan,” kata Mat Salik.

“Apanya yang aneh?” tanya Syamsuddin.
“Lho, apa sampean tidak merasa asing?”
“Saya kira kok biasa-biasa saja…”
“Maksudnya?”
“Lho iya, bukankah semua itu sudah jadi watak dunia. Selama kita hidup di dunia, ya selalu begitu, tak henti-hentinya?”
Dua orang itu kemudian terdiam. Masing-masing menerawang ke angkasa. Bintang-bintang kecil bertaburan, lalu segerombol bintang membentuk lingkaran yang saling tarik menarik, seperti misteri huruf Hamzah dalam jajaran huruf Hijaiyah.

Tanpa jawaban dan diskusi yang jelas, kedua hamba Allah itu kembali ke rumah masing-masing, namun ada kesepakatan keduanya akan segera sillaturrahim ke Kiai Mursyid, guru mereka berdua.

Di sebuah kota kecil, sebuah bangunan menara menjulang ke langit. Menara itu menjadi lambang sebuah cahaya senantiasa memancar, bukan hanya limawaktu sehari ketika suara adzan menusuk angkasa, tetapi juga seringkali dianggap sebagai lambang kesejukan kota kecil itu. “Selama menara itu masih bersinar, kota ini akan senantiasa damai.” Demikian pameo yang berkembang di benak penghuni kota itu.

Di bawah menara itu, tentu sebuah bangunan yang berjajar seperti sebuah kampung kecil di tengah kota. Bangunan-bangunan itu sederhana, tetapi sangatlah bersih. Tak banyak orang bersuara, kecuali sesekali ledakan tawa yang membahana, bahkan juga suara-suara burung yang berkicau di sudut-sudut kampung itu, serta suara-suara bocah yang sedang bermain dengan gembiranya.

Dan bangunan paling sederhana diantara bangunan-bangunan itu, dihuni oleh Kiai Mursyid dan keluarganya. Walau sederhana, tetapi ruang tamu yang luas, dan dan dapur yang lebih luas lagi. Di sana Kiai Mursyid memimpin sebuah pesantren yang tidak sampai ribuan jumlah santrinya. Tetapi dari sanalah sebuah bangsa dibangun dalam arti sebenarnya.
Kiai ini masih sangat muda, belum sampai lima puluh tahun usianya. Tetapi ia memang cukup dikenal sebagai Kiai Sufi, di kalangan para Sufi negeri ini. Lalu bangunan yang mirip kampung kecil itu, tidak lain adalah bangunan pesantren itu. Kelihatan, segalanya berjalan alamiyah, tidak megah, tetapi kokoh dengan bangunan-banguna kayu jati yang berusia tua.

“Mengapa Pak Kiai tidak membangun pesantren modern, lalu tetap mempertahankan tradisi utama di sini? Bahkan kalau perlu dibangun sebuah akademi paling modern dengan nuansa tradisi yang unik?” tanya seorang tamu dari Jakarta yang ssudah melalang buana di negeri-negeri Islam dan pelosok dunia, sembari ia bandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam di luar negeri, khususnya di Afrika dan Timur Tengah, sehingga Kiai Mursyid bisa menjadi pelopor pertemuan peradaban Islam paling modern tanpa melepas tradisinya?
“Kami di sini mendidik hati, menanamkan biji-biji tauhid, agar tumbuh menjadi sosok pohon sejarah kehambaan, yang berbuah manusia-manusia yang senantiasa mendapatkan ridhaNya…” jawab Kiai Mursyid tetap merendah.

“Saya sudah dua hari di sini Pak Kiai. Saya mengamati semuanya, mendata para santri, mendata murid-murid Kiai dari berbagai profesi. Kenapa seorang insinyur, seorang doktor pula, tiba-tiba harus ditugasi Kiai membersihkan kamar mandi setiap hari. Bahkan itu semua di luar disiplin ilmunya. Mengapa tidak dimanfaatkan dan dikembangkan potensinya, dengan planning modern?”
“Bolehlah anda berpendapat begitu. Tetapi saya tanya, mana universitas terhebat di dunia ini yang bisa membentuk karakteristik manusia yang mengenal dirinya dan mengenal Tuhannya? Siapa yang bisa menjamin bahwa ide anda itu bisa membuat hatinya berubah, karakternya bisa sesuai dengan keinginan anda,” jawab kiai itu.

Tamu dari Jakarta itu rupanya terhenyak dengan jawaban kiai. Walau pun fikirannya masih tidak puas, diam-diam hatinya tidak menolak lontaran kiai tersebut.


Kiai Mursyid memang aneh. Bukan seperti kiai biasa. Juga bukan seperti Kiai Khos yang selama ini dikenal publik. Sebab para muridnya terdiri dari masyarakat bawah sampai masyarakat atas. Dari anak-anak hingga orang tua-tua yang sudah senja. Terkadang di rumahnya itu, ratusan rombongan tamu datang, terkadang yang beberapa gelintir manusia, bahkan beberapa hari juga pernah lengang. Kadang yang datang dengan pakaian seragam militer, dengan pangkat jenderal, terjkadang pengusaha kaya raya, namun tidak jarang yang ditemui justru para pemulung dan tukang becak. Semuanya tampak akrab dengan Kiai itu.

Ada jutaan muridnya, ada yang satu sama lain mengenal, ada yang tidak kenal sama sekali, walau pun di ibu kota Jakarta, mereka sebenarnya duduk pada satu instansi bahkan satu kantor.

Seluruh lapisan masyarakat, model manusia seperti apa pun, dari yang paling aneh, paling gila, paling nyentrik, bahkan paling jahat, merasa mendapatkan perlindungan jiwa di sana. Apalagi yang paling alim, paling hebat, paling mampu dan paling banyak massanya, juga merasa mendapatkan perlindungan hati di sana.

Tetapi, manusia juga tetap manusia. Manusia tidak lepas dosa dan alpa. Hanya kesombonganlah yang menyeret manusia untuk merasa paling suci, paling Islami, paling alim, paling dekat dengan Tuhannya. Karena itu di pintu gerbang pesantren itu ada tulisan besar.

“Janganlah anda merasa paling kotor dan paling berdosa di tempat ini. Sebab masih banyak orang yang lebih kotor dan lebih berdosa ketimbang anda di sini. Janganlah pula anda merasa paling alim dan paling suci di sini, sebab masih banyak orang alim dan orang suci lebih dari anda di sini.”
Membaca tulisan itu, setiap tamu yang datang bahkan setiap santri yang keluar masuk pesantren itu, sering dihentakkan egonya sampai ke titik paling rendah. Bahkan banyak tamu yang hilir mudik, karena satu dan lain hal, tidak sempat bertemu Kiai Mursyid, sudah merasa bebas dari beban yang menghimpit ketika memasuki gerbang pesantren itu.

Banyak pula para tamu yang membayangkan sosok Kiai Mursyid sebagai sosok yang kharismatis, dengan pakaian kebesaran dan jubah yang menjuntai. Tetapi begitu jumpa kiai itu, terasa seperti berjumpa dengan ayahandanya sendiri. Bahkan lebih dari itu, tiba-tiba sosok kiai itu adalah sosok bapak spiritual yang meluruhkan gumpalan-gumpalan yang berkarat dalam hati.

“Di sini ini seperti supermarket. Mencari apa saja ada …” kata Kiai Mursyid ketika menerima rombongan tamu-tamu dari luar kota.
Memang demikian. Sebab santri Kiai Mursyid memang terdiri dari berbagai macam manusia, dan ilmu yang dimiliki Kiai Mursyid memang lebih dari sekadar seorang Kiai. Sebab, beberapa tokoh dari perbankan internasional dari mancanegera sering datang hanya untuk konsultasi soal moneter. Ada para politisi yang bertanya soal strategi berbangsa dan bernegara. Ada juga para Ulama besar negara-negara Islam yang datang, hanya untuk bertanya satu dua persoalan saja, ketika persoalan itu sudah ditanyakan hampir ke seluruh tokoh-tokoh Ulama besar, tetapi mengalami jalan buntu. Lalu Kiai Mursyid hanya memberi jawaban satu dua kalimat saja, mereka sudah puas. Namun tak jarang Kiai Mursyid harus bicara soal pertanian dan pendidikan anak-anak di desa, situasi madrasah dan surau, pada orang-orang desa.

Misalnya, seorang professor Filsafat dari Al-Azhar University jauh-jauh datang dari Mesir hanya untuk menanyakan sebuah kompromi polemik intelektual dan teologis antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusydi yang selama berabad-abad tidak bisa dikompromikan secara memuaskan. Tetapi ketika filosuf Al-Azhar itu mendatanginya, dengan membawa masalah tersebut, akhirnya hanya dijawab oleh Kiai Mursyid dengan kata-kata sederhana, terkadang penuh dengan anekdot dan hikmah yang berbau kontroversial.
“Apakah Syeikh tadi sudah masuk ke masjid saya itu, melihat arsitektur dan bangunannya?” tanya Kiai Mursyid.

“Sudah Pak Kiai…” jawab Professor dari Al-Azhar itu.
“Apakah syeikh bisa menjelaskan pada khayalak tentang bangunan itu?”
“Insya Allah saya bisa, bahkan sangat detil. Sebab saya memang pernah belajar arsitektur di Universitas Kairo.”

“Baiklah. Kalau teman anda ini, apakah teman anda ini juga ikut masuk di Masjid?” tanya Kiai Mursyiod pada teman syeikh atau Professor itu.
“Maaf Pak Kiai,” jawabnya dengan berbahasa Arab fasih, “saya hanya melihat-lihat dari luar saja. Tapi saya bisa menjelaskan bentuk detilnya kepada khalayak. Karena saya sebenarnya seorang insinyur bangunan Pak Kiai,” kata teman professor tadi.

“Nah, itulah cara mempertemukan Al-Ghazali dengan Ibnu Rusydi. Syeikh atau professor yang sudah masuk ke dalam masjid lalu keluar dari masjid, kemudian menjaskan kepada khalayak tentang bangunan masjid itu, menempati posisi Imam Al-Ghazali. Sedangkan anda yang hanya melihat masjid dari sisi luarnya, lalu berusaha menjelaskan kepada khalayak tentang sudut-sudut bangunan di dalam masjid, maka anda menempati posisi Ibnu Rusydi.”



Kedua tokoh itu hanya manggut-manggut, sembari meandang sosok Kiai Mursyid tanpa henti-hentinya. Lalu professor itu menangis dengan sesenggukan yang mengharukan.

“Pak Kiai telah menyelesaikan ribuan judul buku, bahkan ratusan ribu kitab, hanya dalam satu kalimat saja. Subhanallah….Subhanalllah…” kata Professor itu sambil mengusap airmatanya dengan sapu tangannya.
Kiai Mursyid hanya menyambut dengan senyuman.

“Apa rahasianya Pak Kiai?” tanya professor itu.
“Kalau hati anda hidup, insya Allah bisa sendiri,” katanya.
“Hati yang hidup itu bagaimana?”
“Ya, hati yang tidak mati…ha…ha…haa…”
Professor itu mengernyitkan keningnya. Lalu Kiai Mursyid menempelkan tepalak tangannya ke dada professor itu.

“Pejamkan mata anda, rasakan apa yang hidup dalam hati anda.”
Professor itu memejamkan matanya, lalu mengikuti perintah Kiai Mursyid. Tiba-tiba keringatnya bercucuran, bahkan airmatanya membasahi pipinya dan membelah bibirnya.

“Iya, iya Pak Kiai, saya mengerti, saya mengerti…”
Lalu Professor itu mengucapkan istighfar berkali-kali, ketika hatinya mengalami futuh (pencerahan), melalui Kiai Mursyid. Dan hari itu Professor dari Al-Azhar itu berbaiat kepada Kiai Mursyid untuk mengikuti thareqat Sufinya.

Malam semakin larut ketika seluruh negeri ini terlelap oleh kedekilan yang menggigilkan. Dan selimut telah menjadi jubah malamnya, seperti malam menjubahi bumi dengan gelapnya. Mat Salik dan Syamsuddin sudah memasuki pelataran pesantren itu. Keduanya memasuki masjid, lalu sholat dua rekaat tahiyyatal masjid. Usai berdzikir dan berdoa, terdengar suara yang memecahkan malam. “Mat Saliiik….!.Syamsuddiiiin….!”. Suara yang khas memanggil dua nama itu. Tidak lain adalah suara Kiai Musryid yang sudah menunggu kedatangan dua orang dari pelosok kampung itu.

Dua orang itu mencium tangan Kiai Mursyid dan duduk di emperan masjid.
“Negeri ini susah diprediksi oleh para pengamat, para pakar, bahkan oleh musuh sekalipun,” tiba-tiba Kiai Mursyid membuka pembicaraannya, seakan-akan menyambung obrolan dua orang kampung itu.
“Kenapa begitu Pak Kiai….”
“Karena di negeri ini masih banyak, ratusan, para wali-wali Allah yang menjaganya….” Kata Kiai Mursyid.

Dua orang itu tetap tak berkata-kata. Tetapi hatinya merasakan getaran-getaran yang aneh dibalik kata-kata Kiai Mursyid itu.

“Karena itu, lanjut Kiai Mursyid, “jangan percaya pada omongan para pakar di media massa, jangan mudah percaya pada pemimpin-pemimpin yang munafik yang hanya mementingkan golongan dan keluarganya sendiri, juga jangan percaya pada suara-suara pikiran belaka. Percayalah pada hatimu paling dalam, percayalah pada Sirr-mu sendiri.”

Dada Mat Salik dan Syamsuddin terasda terguncang mendengar kata hikmah Kiainya. Guncangan itu akibat getaran dzikir yang tak bisa dihentikan oleh usahanya sendiri. Tiba-tiba bergetar dengan dzikrullah, tanpa tahu darimana asal mulanya.

“Getaran dalam hatimu, bermula dari kesadaranmu paling dalam. Kesadaran yang tak terikat ruang waktu, disaat kamu ditanya oleh Tuhanmu, “Bukankan Aku ini Tuhanmu?” Lalu sirr-mu menjawab, “Benar, Engkaulah Tuhanku…”. Itulah sirr-mu yang menjawab. Sirr tempat dimana kamu bertemu dengan Allah.”

Lalu dua orang itu dipersilahkan ke masjid oleh Kiai Mursyid, walau pun sisa airmatanya masih mebekas di pipinya.

Subuh pagi yang cerah, dua orang itu pulang ke kampung dengan wajah seperti matahari pagi.

Keduanya hanya senyum-senyum sendiri, dengan senyum yang menahan rasa gembiranya atas jawaban Kiai Mursyid tentang negeri ini.

Tiga Kyai Pelacur

Kyai Khoiron, sudah populer sebagai kiainya para pelacur di Surabaya. Sehari-hari ia menjadi guru ngaji, konsultasn psikhologi dan bapak, kakak, sahabat yang sangat akrab dengan gemuruh jiwa para pelacur yang bergolak. Dua puluh tahun silam, diam-diam ia dirikan sebuah pesantren di komplek pelacuran terbesar di Surabaya. Dan saat ini ada tujuh ratus anak-anak pelacur itu nyantri di pesantrennya.

Jika senja mulai tiba, gincu-gincu mengoles bibir para pelacur itu, dengan segala sapaan manja pada hidung belang, sementara suara musik keras mendentang memenuhi komplek pelacuran itu, di sudut komplek pelacuran itu terdengar suara bocah-bocah mengaji, meneriakkan halawat Nabi dan berzanji. Keduanya berjalan damai.

“Saya tidak pernah melarang mereka melacur. Saya juga tidak memarahi mereka. Saya hanya menyiapkan ruang jiwa mereka. Sebab mereka melacur paling lama sepuluh tahun. Setelah? Mereka pasti berhenti. Mereka perlu kesiapan mental, keimanan dan sikap optimis kepada Tuhan,” katanya.

“Pesantren anda ini?”
“Memang, pesantren ini saya konsentrasikan untuk membina anak-anak mereka yang tak berdosa. Mereka harus tumbuh dengan jiwa yang merdeka, tanpa konflik, tanpa masa lalu dan trauma-trauma.”

***

Lain lagi dengan seorang Kiai di dekat kota Madiun. Kiai Madun, sudah dikenal sebagai seorang kiai Thariqat dengan jama’ah ribuan. Suatu hari ia tertimpa gejala psikhologi yang begitu aneh: Rasa takut mati yang berlebihan. Selama enam bulan ia terus menerus menangis, seakan-akan Malaikat Maut membuntutinya. Ia juga heran kenapa harus takut mati?

Saking takutnya, Kiai Madun mendatangi guru Mursyidnya. Dengan serta merta gurunya menyambut dengan sambutan yang cukup kontroversial. “Soal penyakitmu itu gampang obatnya. Mulai besok kamu pergi saja setiap hari ke komplek pelacuran!”

“Bagaimana pak Kiai ini, kok saya malah harus main-main dengan pelacur. Apakah ini tidak bertentangan dengan syari’at?” kata Kiai Madun dalam hatinya. Belum sempat ia meneruskan fantasinya, gurunya sudah memotong:

“Dun!, Lihatlah mulutku ini!”

Begitu melihat mulut gurunya, yang tampak adalah lautan luas tak bertepi. Kyai Madun hanya terperangah. Diam-diam ia menyesal. Kenapa soal-soal hakikat kehidupan harus ia pertanyakan lewat syariat kepada gurunya? Diam-diam pula hatinya menangis. Tapi juga muncul rasa ngeri, kenapa harus main-main dengan pelacur?

Tapi Kyai Madun tidak mau membantah perintah gurunya. Pagi-pagi Kiai ini sudah menghilang dari rumahnya. Ia cari komplek pelacuran yang jauh dari daerahnya. “Jalan penyembuhan” ini ia lakukan hampir setiap hari, sampai pelacur seluruh komplek itu kenal benar dengan Kyai Madun. Bahkan kadang, seharian penuh ia berada di tengah para perempuan penghibur itu, sambil mengingat-ingat, apakah rahasia dibalik perintah gurunya itu.

Suatu pagi, ketika ia datang ke komplek langganannya, tiba-tiba ada kakek-kakek tua, baru saja keluar dari sebuah kamar pelacur. Ia sangat kaget, melihat kakek yang sudah uzur, dan mendekati ajal itu, masih sempat ke komplek pelacuran. Bahkan dengan wajah berseri, riang gembira, layaknya anak muda, sang kakek penuh percaya diri layaknya anak muda.

“Iya, ya. Kakek ini sudah tua renta, kok tidak takut mati. Bahkan ia jalani kehidupan tanpa beban. Saya yang masih muda kok takut mati. Kualitas iman macam apa yang saya miliki ini?” katanya Kiai Madun dalalam hati.

Dengan wajah terangguk-angguk, Kiai Madun merasa mendapat pelajaran dari Kakek tua renta itu. Dan seketika pula rasa takut matinya hilang begitu saja. Sembuh!



Lain lagi dengan Kyai Marwan, dari Nganjuk. Kiai ini sudah hampir mendekati lima puluh tahun usianya, tetapi masih membujang. Keinginan untuk konsentrasi sebagai Kyai tanpa menghiraukan urusan dunia termasuk wanita, membuatnya menjadi bujang lapuk. Tapi soal kebutuhan penyaluran syahwat, tetap saja mengusik setiap hari. Apalagi kalau ia berfikir, siapa nanti yang mneneruskan pesantrennya kalau ia tidak punya putra?

Dengan segala kejengkelan pada diri sendiri dan gemuruh jiwanya, akhirnya Kiai Marwan istikhoroh, mohon petunjuk kepada Allah, siapa sesungguhnya wanita yang menjadi jodohnya?

Petunjuk yang muncul dalam istikhoroh, adalah agar Kyai Marwan mendatangi sebuah komplek pelacuran terkenal di daerahnya. “Disanalah jodoh anda nanti…” kata suara dalam istikhoroh itu.

Tentu saja Kyai Marwan menangis tak habis-habisnya, setengah memprotes Tuhannya. Kenapa ia harus berjodoh dengan seorang pelacur? Bagaimana kata para santri dan masyarakat sekitar nanti, kalau Ibu Nyainya justru seorang pelacur? “Ya Allah…! Apakah tidak ada perempuan lain di dunia ini?”

Dengan tubuh yang gontai, layaknya seorang yang sedang mambuk, Kyai Marwan nekad pergi ke komplek pelacuran itu. Peluhnya membasahi eluruh tubuhnya, dan jantungnya berdetak keras, ketika memasuki sebuah warung dari salah satu komplek itu. Dengan kecemasan luar biasa, ia memandang seluruh wajah pelacur di sana, sembari menduga-duga, siapa diantara mereka yang menjadi jodohnya.

Dalam keadaan tak menentu, tiba-tiba muncul seorang perempuan muda yang cantik, berjilbab, menenteng kopor besar, memasuki warung yang sama, dan duduk di dekat Kyai Marwan. “Masya Allah, apa tidak salah perempuan cantik ini masuk ke warung ini?” kata benaknya.

“Mbak, maaf, Mbak. Mbak dari mana, kok datang kemari? Apa Mbak tidak salah alamat?” tanya Kyai Marwan pada perempuan itu.

Perempuan itu hanya menundukkan mudanya. Lama-lama butiran airmatanya mulai mengembang dan menggores pipinya. Sambil menatap dengan mata kosong, perempuan itu mulai mengisahkan perjalanannya, hingga ke tempat pelacuran ini. Singkat cerita, perempuan itu minggat dari rumah orang tuanya, memang sengaja ingin menjadi pelacur, gara-gara ia dijodohkan paksa dengan pria yang tidak dicintainya.

“Masya Allah….Masya Allah…Mbak.. Begini saja Mbak, Mbak ikut saya saja. …” kata Kiai Marwan, sambil mengisahkan dirinya sendiri, kenapa ia pun juga sampai ke tempat pelacuran itu. Dan tanpa mereka sadari, kedua makhluk itu sepakat untuk berjodoh.

Tiga Kiai tersebut, sesungguhnya merupakan refleksi dari rahasia Allah yang hanya bisa difahami lebih terbuka dari dunia Sufi. Kiai Khoiron yang menjadi kiai para pelacur, sesungguhnya wujud dari kemerdekaan Sufistik pada kepribadian seseorang yang berani menerobos dinding-dinding verbalisme kultur agama, sebagaimana misteri Kyai Madun, yang harus sembuh di komplek pelacuran. Juga nasib bidadari yang ditemukan Kiai Marwan di komplek pelacuran itu. Semuanya menggambarkan bagaimana dunia jiwa, dunia moral, dunia keindahan dan kebesaran Ilahi, harus direspon tanpa harus ditimbang oleh fakta-fakta normatif sosial yang terkadang malah menjebak moral seorang hamba Allah.

Sebab tidak jarang, seorang Kiai, sering mempertaruhkan harga dirinya di depan pendukungnya, ketimbang mempertaruhkan harga dirinya di depan Allah. Dan begitulah cara Allah menyindir para Kiai, dengan menampilkan tiga Kiai Pelacur itu.

Antara Riyadhah dan Kecenderungan Nafsu

Allah swt. memberikan kepada Nabi Musa as., Ia berfirman: "Wahai Musa, Anda ingin Aku lebih dekat padamu, daripada antara pembicaraan dengan lidahmu, bisikan hati dengan hatimu, nyawa dengan badanmu, sinar penglihatan dengan matamu, dan antara kedekatan hubungan antara pendengaran dan telingamu, maka perbanyaklah membaca shalawat atas Nabi Muhammad saw."

Allah swt. Berfirman:

ولتنظرنفس ماقدمت لغد. الحشر: ١٨

Artinya:
"...dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)." (QS. Al-Hasyr: 18)

Wahai manusia, ketahuilah bahwa nafsu yang selalu memerintahkan kepada Anda untuk melakukan kejahatan, sesungguhnya lebih memusuhi Anda daripada Iblis. Kekuatan Iblis sehingga mampu menguasai Anda, tiada lain karena pertolongan hawa nafsu dan kesenangan-kesenangannya yang menyesatkan. Oleh sebab itu, jangan sampai Anda tertipu oleh hawa nafsu, melalui angan-angan kosong, tipu daya, bertindak lambat, santai dan bermalas-malasan. Semua ajakan Iblis adalah bathil, segala yang timbul dari doktrin dan perintahnya adalah tipu daya yang menyesatkan belaka.
Jika Anda senang dengan kemauan hawa nafsu dan menuruti perintahnya, tentu Anda akan celaka. Jika Anda lengah dalam mengawasinya, tentu Anda akan tenggelam dan jika Anda lemah dalam melakukan perlawanan terhadapnya serta mengikuti saja kesenangannya, tentu ia akan menyeret Anda ke dalam neraka.
Nafsu bukanlah sesuatu yang dapat diarahkan menuju kebaikan. Dia adalah pangkal dari segala bencana dan sumber dari segala aib. Ia merupakan markas kekayaan Iblis dan tempat berlindungnya setiap kejahatan yang tidak ada yang dapat mengetahui kecuali Allah swt yang menciptakannya. Karenanya takutlah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Ketika seorang hamba berpikir tentang usianya yang telah berlalu demi kepentingan akhiratnya, maka pemikiran semacam itu, dapat membersihkan hati.
Nabi saw bersabda: "Berfikir satu jam, lebih baik daripada beribadah setahun." Demikianlah, sebagaimana disebutkan didalam Tafsir Abu Laits.

Oleh sebab itu, sudah seharusnya bagi orang yang berakal bertobat dari dosa-dosanya yang telah berlalu. Berpikir tentang hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah swt. Dapat memupus angan-angan kosong dan menjadikannya selamat di perkampungan akhirat. Di samping itu, ia juga seharusnya segera bertobat, ingat kepada Allah swt., meninggalkan larangan-larangan-Nya, dan bersabar untuk tidak mengikuti keinginan-keinginan hawa nafsu.
Nafsu ibarat berhala, maka barangsiapa yang mengabdi kepada nafsu, berarti ia mengabdi kepada berhala. Tetapi barangsiapa yang mengabdi kepada Allah dengan penuh keikhlasan, maka berarti dia telah mengalahkan hawa nafsunya.


     Ada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa pada suatu ketika Malik bin Dinar berjalan di padang Bashrah, ketika melihat buah tin, ia menginginkannya. Maka dia lepas sandalnya dan diberikan kepada si penjual buah tin, sambil berkata: "Ambillah sandal ini, dan berikanlah kepadaku buah tin sebagai gantinya." Si penjual buah melihat sandal itu dan berkata: "Sandal itu tidak cukup untuk ditukar dengan satu buah pun." Maka Malik bin Dinar berlalu meninggalkannya. Lalu seseorang bertanya kepada si penjual buah itu: "Tidakkah engkau mengenal siapa dia?". "Tidak", jawab si penjual buah itu singkat. Kemudian dikatakan kepadanya: "Dia adalah Malik bin Dinar." Mendengar jawaban itu, si penjual buah langsung memerintahkan kepada budak pelayannya agar segera menyusulnya dengan membawa sebuah baki yang penuh dengan buah tin. Dia berkata kepada budaknya: "Kalau dia mau menerima ini, maka kamu menjadi merdeka."
     Maka budak itu berlari-lari mengejar Malik bin Dinar, ketika dapat menyusulnya ia berkata: "Tuan, terimalah ini, dari saya." Tetapi Malik bin Dinar menolaknya. Budak itu kembali berkata: "Terimalah ini Tuan, karena di dalamnya terdapat kemerdekaanku." Malik bin Dinar menjawab: "Kalau di dalamnya terdapat kemerdekaanmu, di dalamnya juga terdapat siksaku." Budak itu, masih berusaha merayu dan membujuk Malik bin Dinar, Tetapi ia berkata: "Aku bersumpah tidak akan menjual agama dengan buah tin itu dan aku tidak akan memakannya sampai hari kiamat."

     Diceritakan, bahwa ketika Malik bin Dinar menderita sakit hingga menyebabkan kematiannya, dia menginginkan semangkok madu bercampur susu dan roti hangat. Kemudian datanglah seorang pelayan mengantarkan dan menyajikan apa yang di inginkannya itu. Ketika telah tersedia dihadapannya, ia mengambil dan melihatnya sesaat, lalu berkata: "Wahai nafsu, Anda telah bersabar (untuk tidak memakannya) selama tiga puluh tahun, kini umurmu hanya tinggal sesaat saja, mengapa Anda tidak mau bersabar?". Lalu dia melepaskan tangannya dan berpaling dari makanan yang ada di mangkok itu, dia bersabar dalam menahan keinginannya dan tidak memakannya. Sesaat setelah ia melepaskan dan berpaling dari makanan itu, dia menghembuskan nafasnya (meninggal dunia).
Demikianlah kondisi para Nabi dan Wali dalam usahanya untuk  mengendalikan hawa nafsunya. Mereka adalah orang-orang yang memegang teguh komitmen keimanannya dengan penuh kesabaran, merindukan Allah swt. dan sangat zuhud dalam kehidupannya.

     Nabi Sulaiman bin Daud berkata: "Sesungguhnya perjuangan seseorang untuk dapat mengalahkan hawa nafsunya adalah lebih berat daripada usaha seseorang untuk menaklukkan sebuah kota seorang diri."
     Ali bin Abi Thalib karramallaahu wajhahu berkata: "Tidaklah ada antara aku dan nafsuku, melainkan seperti seorang penggembala kambing. Ketika dia dapat menghalau dan mengumpulkan kambing-kambingnya dari satu arah, maka berpencarlah kambing-kambing itu dari arah yang lain. Barangsiapa yang dapat membunuh (mengendalikan) hawa nafsunya, maka dia akan diselimuti dengan kafan rahmat dan dimakamkan dalam makam kemuliaan. Sementara orang yang  membunuh hatinya, maka dia dibungkus dengan kafan laknat dan dikebumikan dalam makam siksaan."

     Yahya bin Mu'adz Ar-Razi berkata: "Perangilah hawa nafsumu dengan melakukan kebaktian kepada Allah swt. dan berriyadhah. Riyadhah ialah sedikit tidur, sedikit bicara dan sedikit makan serta bertahan dari gangguan manusia. Sedikit tidur dapat membuat keinginan-keinginan hati menjadi baik, sedikit bicara menimbulkan keselamatan dari bahaya, dan bersabar dalam menghadapi gangguan manusia dapat menghantarkan untuk sampai pada derajat yang tinggi. Dan dengan sedikit makan akan melenyapkan kesenangan-kesenangan hawa nafsu."
Banyak makan dapat menyebabkan hati menjadi keras dan membatu serta nurnya menjadi lenyap. Nur hikmah akan memancar dari sebab lapar. Sedangkan kekenyangan akan membuatnya jauh dari Allah swt.

     Rasulullah saw. Bersabda: "Terangilah hati Anda dengan lapar dan perangilah nafsu Anda dengan lapar dan haus. Rajin-rajinlah untuk terus menerus mengetuk pintu surga dengan lapar pula. Karena pahala menjalankan semua itu, laksana pahala orang yang berjihad dijalan Allah. Sesungguhnya tidak ada suatu amal yang lebih dicintai oleh Allah swt. daripada lapar dan haus. Sedangkan orang yang memenuhi perutnya (kekenyangan) tidak akan dapat memasuki kerajaan langit dan kehilangan (tidak akan dapat merasakan) manisnya ibadah."

  Abu Bakar As-shiddiq ra. Berkata: "Setelah masuk Islam, aku tidak pernah makan sampai kenyang, agar aku dapat merasakan manisnya beribadah kepada Tuhanku dan tidak pula minum yang segar-segar, karena aku merindukan bertemu dengan Tuhanku."
Apabila seseorang memperbanyak makan, maka badannya menjadi berat, kedua matanya akan selalu mengantuk dan semua anggota tubuhnya menjadi lemah sehingga tidak ada sesuatupun yang cukup berarti, sekalipun ia berusaha melainkan ia akan dikalahkan oleh rasa kantuk dan tidur. Maka jadilah ia seperti bangkai yang terbuang sia-sia. Demikian, sebagaimana yang disebutkan didalam kitab Minhajul Abidin.

     Ada sebuah riwayat, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Maniatul Mufti, bahwa Luqman Al-Hakim berkata kepada anaknya: "Janganlah Anda memperbanyak makan dan tidur, karena orang yang memperbanyak keduanya, akan menjadi miskin amal saleh, kelak di hari kiamat."

     Nabi Muhammad saw bersabda: "Janganlah Anda membuat mati hati Anda dengan banyak makan dan minum. Karena hati akan mati, seperti tanaman (yang mati) sebab terlalu banyak air."

     Orang-orang saleh, banyak yang membiasakan menjalani kehidupannya sebagaimana hal tersebut. Perut yang posisinya berada di bawah hati, laksana belanga berisi air mendidih yang kepulan asapnya akan mengenai hati. Banyaknya kepulan asap yang keluar daripadanya akan mengotori hati dan membuatnya menjadi hitam laksana arang. Sedangkan banyak makan, akan membuat perut menjadi penuh, sehingga dapat menghilangkan kecerdasan.

     Diceritakan dari Yahya bin Zakaria as., bahwa iblis pernah menampakkan diri kepadanya sambil membawa beberapa kail. Lalu Yahya bertanya kepadanya: "Apa ini?" Iblis menjawab: "Ini adalah aneka macam kesenangan yang akan aku buat untuk mengail anak cucu Adam." Yahya bertanya: "Apakah Anda telah mendapatkan sesuatu terhadapku dengannya?" Iblis menjawab: "Tidak, hanya saja Anda pernah kenyang dalam suatu malam, lalu aku buat Anda berat untuk menunaikan shalat malam." Adalah suatu yang pasti, aku tidak akan makan sampai kenyang lagi untuk selama-lamanya." Iblis pun menjawab: "Adalah suatu yang pasti pula, aku tidak akan memberi nasehat kepada seorang pun selama-lamanya."
     Hal itu mengisahkan tentang orang yang tidak pernah merasa kenyang seumur hidupnya, kecuali hanya semalam. Lalu bagaimana halnya dengan kondisi orang yang tidak pernah lapar seumur hidupnya, walau hanya semalam pun, namun ia mengharapkan dapat merasakan manisnya beribadah.

     Disamping itu, ada pula kisah yang juga dari Yahya bin Zakaria, sesungguhnya suatu hari dia pernah kenyang setelah makan roti dari gandum, sehingga pada malamnya ia tertidur ketika sedang berzikir. Lalu Allah swt. Menurunkan wahyu kepadanya: "Wahai Yahya, apakah Anda menemukan perkampungan atau tempat bersanding yang lebih utama daripada dengan-Ku? Demi keagungan dan keluhuran-Ku, seandainya Anda melihat surga Firdaus, lalu melihat neraka Jahannam sekejap saja, tentu Anda akan menangis dengan nanah, karena kehabisan air mata dan Anda akan memakai pakaian dari besi sebagai ganti pakaianmu, (karena berlari dari Jahannam dan ingin bersanding dengan-Ku di surga Firdaus)."